Oleh: Wiranto
Hati-hatilah, karena banyak perbuatan jahat dapat berasal dari permulaan yang baik
Manusia selain sebagai makhluk individu juga makhluk sosial. Status sebagai makhluk individu dan sosial merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepas-pisahkan, dengan kata lain manusia saling bergantung satu dengan yang lain. Meminjam bahasanya Newton “ Jika aku bisa melihat lebih jauh, itu karena aku berdiri di pundak para raksasa”. Namun dalam kenyataannya manusia terkadang lupa pada pundak-pundak yang telah menopangnya untuk bisa melihat lebih jauh dan tinggi. Ketika manusia sudah melihat dengan jelas maka manusia kadang tidak menghiraukan jeritan orang-orang yang pundaknya diinjak. Analogi “menginjak pundak” digunakan untuk mengambarkan realitas berpolitikan republic yang dipraktekan para sebagian pemimpin / Perwakilan Rakyat dewasa ini. Pemimpin yang dipilih rakyat sering dan bahkan melupakan rakyat bila telah menikmati kekuasaan. Para pemimpin di republik ini baik itu politisi, Bupati, DPR dan seterusnya sebagian besar “bermuka dua”, jika datangnya moment politik, mereka pandai menggombal rakyat.
Sebelum memperoleh “kursi kekuasaan” atau ketika ingin merebut kekuasaan pada hajatan politik, para calon memaknai kekuasaan sebagai amanah yang harus dijaga dan harus dipenuhi ketika memperoleh kuasa, atau lebih luas lagi mereka memaknai kekuasaan seperti yang dimaknai Victor Frankl bahwa; “setiap orang sesungguhnya mengejar agar hidupnya bermakna. Berbagai perjuangan dan penderitaan yang terjadi diharapkan membuat diri seseorang bermakna bagi orang-orang terdekat yang dicintainya. Siapa pun tidak ingin hidupnya sia-sia dan jerih payahnya tidak bermakna”. Dengan argumentasi dapat memberi makna atau membuat rakyat sejahtera yang membuat rakyat jatuh hati atau menjatuhkan pilihan pada mereka kerena pada hakikatnya manusia tidak mau hidup menderita.
Setelah Pelantikan kemarin dan memperoleh kekuasaan maka rakyat harus dibuat bahagia. Karena logika kekuasaan untuk memberi makna pada rakyat sudah direduksi menjadi kekuasaan sebagai penumpukan kapital. Seperti yang dikatakan Karl Marx, “apa pun kemasan dan retorika yang dibangun, ujung dari semua pergulatan politik adalah untuk meraih keuntungan ekonomi. Status dan agenda ekonomi seseorang akan menentukan perilaku dan manuver politiknya”. Pada posisi inilah para pemimpin yang dipilih rakyat bermetamorfosis menjadi penguasa. Telah mengalamai kelupaan, dalam bahasa sehari-hari disebut “Lupa Daratan”. Mereka lupa darimana mereka berasal.
“Lupa Daratan” dewasa ini bisa dijadikan sebagai sendiran politik untuk DPR yang telah melantarkan rakyat yang telah memberi amanat padanya. Fenomena ini “Lupa Daratan” ditemukan dimana-mana, baik ditingkat pusat dan daerah. Walaupun gejala “Lupa Daratan” ditemukan dimana-mana namun tetap saja tidak membuat rakyat ‘’kapok’’ untuk berhenti memilihnya yang lupa akan rakyat, sebaliknya rakyat semakin mendekati mereka yang telah mencampakannya. Hal ini seakan telah membentuk banalitas yang sulit untuk dihilangkan, itu artinya bahwa setiap kali melakukan hajatan politik untuk memilih Dewan maka kita akan terus dan terus memilih yang hanya melayani hasrat pribadi.
Kepongahan DPR
Coba sejenak merefresh ingatan pada masa-masa sebelum dilakukan hajatan politik untuk memilih pemimpin baik itu dimoment Pilkada, Pileg, Pilpres dan Pilkades, dimana hasil hajatan politik itu telah menghasilan pemimpin yang sekarang menindas kita baik secara terang-terangan maupun terselubung, tepatnya pada masa (sebelum) kampanye, maka kita akan menemukan sejuta janji manis. Mereka yang kini menjadi politisi, DPR Bupati, Gebernur, Wakil Gubernur dan jabatan lainya yang dipilih secara langsung oleh rakyat ketika datang ke rakyat seperti budak yang meminta-minta suara dari rakyat untuk dimerdekakan atau bisa melangsungkan hidup. Para Dewan kita seperti yang disebutkan di atas adalah para budak yang pongah. Karena ketika memperoleh kuasa langsung melupakan rakyat. Janji mensejahterakan rakyat, bebas dari korupsi hanya berhenti atau hanya menjadi pemanis kampanye. Karena sebagian pemimpin yang dipilih yang konon katanya akan memberantas korupsi, malah harus mendekap dibalik jeruji besi sebagai koruptor.
Sudah seharusnya nasehat yang disampaikan Cesar Augustus di atas menjadi catatan untuk rakyat agar tidak “panik” memilih Dewan masa depan dengan melihat kebaikan yang diperlihat ketika kampanye, karena bisa jadi kebaikan yang ditebarkan ternyata racun yang bisa membunuh dan juga sebaliknya, diposisi inilah rakyat sebagai pemagan kedaulatan tertinggi di negara demokrasi pintar-pintar memilih. Jika (calon) pemimpin / Dewan cerdik menipu rakyat maka sebagai pemegan kedaulatan rakyat atau majikan di negara demokrasi rakyat harus bisa menjatuhkan hukuman pada pemimpin yang suka menipu dengan cara jangan memilihnya untuk menjadi pemimpin / Dewan.
Kalaupun pemimpin / Dewan yang tadinya “babu” namun kini telah menjadi majikan yang serakah sudah terlanjut dipilih karena kehilafan atau ketidakmampuan menahan godaan uang yang diberikan untuk memilih pemimpin yang berbeda dengan hati nurani, maka rakyat tidak boleh lagi memilih mereka untuk kedua kalinya dengan kata lain katakan tidak untuk pemimpin / Dewan yang munafik, yang cuma mencuri uang negara untuk kepentingan diri sendiri. Sebaik apapun sistem yang dibuat untuk mencapai kesejahteraan tidak pernah nyata bila kita diwakilkan oleh DPR yang serakah. Mengakhiri tulisan ini, ingin saya katakan bahwa tulisan ditulis untuk mereka DPR yang telah terpenjarah dengan keserakahan, dan untuk yang sampai saat ini belum bisa melunasi janjinya untuk membawa rakyat mendekati pelabuhan kesejahteraan. Selamat atas Pelantikan sebagai DRP 2019-2024.